Contoh cerita pendek, atau yang biasa kita sebut cerpen kali ini mengusung satu teknik penunjang penarik perhatian pembaca. Coba kita simak dulu ya.
KACAMATA LALA
Oleh :Putrowangi
Dua lenganku selalu mengait kedua telinganya. Tercantol begitu di wajahnya yang imut. Lala mulai memakaiku setelah vonis dokter bahwa matanya minus. Aku menemaninya setiap waktu. Aku bertugas membantu penglihatannya, tugas yang membuat aku tahu setiap apa yang diketahuinya. Aku juga harus melindungi matanya. Pernah suatu ketika beberapa anak laki-laki kelasnya, teman-temannya yang tergabung dalam gank brandal cilik, menyemburkan pasir ke wajah lala. Membuat wajahnya kotor penuh tanah debu, kecuali bagian mata. Tapi dia tidak menangis, aku tak melihat air setetespun di matanya. Walau ceria dan centil, dia adalah gadis cilik yang kuat dan tangguh. Selain bisa melihat apa yang dia lihat, aku juga bisa menoleh ke belakang untuk melihat matanya. Ketika dia melihat seragam barunya dengan mata gembira, ketika dia melihat teman-teman barunya dengan sorot mata keakraban, ketika dia melihat kilat petir dengan mata terkejut, dan yang paling sering adalah ketika akhir-akhir ini matanya selalu tersayat-sayat penuh emosi dari adegan-adegan yang bahkan sama sekali tak dipahaminya, Sinetron.
Dulunya dia tidak begitu. Dulu dia tak suka sinetron. Dia adalah anak normal, seperti juga teman-temannya, seperti juga anak-anak TK dimana-mana, suka bermain boneka, bongkar pasang dan masak-masakan. Dulu dia juga adalah anak kecil yang setiap sore membawa kardus penuh mainan keluar ke teras rumah, mencetak tanah basah menjadi bentuk-bentuk kue-kue, atau juga mengejar kupu-kupu atau capung. Selalu aktif dan ceria. Bahkan beberapa kali menjuarai lomba baca puisi tingkat TK se-kecamatan. Semua tetangga dan gurunya turut membanggakannya. Namun yang seharusnya adalah orang yang paling bangga malah meghancurkan semuanya. Kekreativitasan Lala, masa kecil dan masa depan Lala, harus hancur atas ulah ibunya sendiri. Wanita gendut dengan mata yang berkilat-kilat ketika mendengar gosip baru artis atau ketika dapat bocoran kejelekan salah satu tetangganya.
Ibu Lala-lah yang dulu terlihat kelewat serius memelototi kemelut di-TV yang tak pernah reda. Tak ketinggalan pula acara gosip-menggosip dari semua chenel TV. Selalu saja ada sesuatu yang baru, tak pernah habis konflik demi konflik mendera mata dan otak. Dan dari semua itu, tak boleh ada yang tertinggal bagi Ibu Lala. Ibu Lala tak akan beranjak mencuci baju sebelum semua gosip ditelannya habis. Otak dan telinganya tumpul tak berfungsi ketika adegan paling seru-semrawut atau gosip terpanas mak-nyos ditampilkan di TV. Tak akan ada tamu yang dibukakan pintu walau telah mengetuk pintu selama dua jam sekalipun, tak akan ada panci air yang akan diangkat dari kompor walau sudah kering-gosong juga. Dipersembahkannya hidup demi melihat sinetron dan mendengar gosip. Dunianya berhenti di titik itu. Dan semua tingkah polah ibunya ini, terekam baik di mata Lala.
Ketika Lala minta diambilkan makan sepulang dari sekolah, tak akan diterimanya sebutir nasi-pun sebelum acara gosip siang berakhir. Ketika dia ingin melihat spongebob, sampai menangis seperti apapun, tak akan chenel berpindah hingga adegan terakhir sinetron petang episode hari itu usai. Pernah juga anak dan ibu itu bertengkar seru memperebutkan remot TV. Ku tengok ke belakang, terlihat mata lala yang mengalirkan air kebencian begitu derasnya. Kupandang ke depan, terlihat ibunya mendelik merah, berkacak pinggang dengan remot tetap nyaman terlindungi dan tak pernah lepas dari genggaman eratnya. Mulut ibu lala juga mangap-mangap saat itu. Pasti-lah nama setiap hewan yang ada di kebun binatang Surabaya disebutnya satu-persatu untuk menghinakan Lala. Peperangan yang sungguh tidak sepadan. Bukan hanya tentang lawan yang tak sebanding tetapi juga karena penyebab yang begitu tidak pantas.
Keadaan seperti ini terus saja terjadi. Setiap waktu aku harus menyaksikan pertengkaran anak-beranak yang tak pernah terselesaikan. Tangisan dan cacian menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Setiap hari terdengar dari ruang tengah, ruangan yang berisi seperangkat sofa-meja, rak dan TV 29”, lengkap dengan VCD dan Sound system. Hingga akhirnya, makan siang yang telat dan chenel yang tak pernah terganti membuat Lala putus asa. Dia menyerah dan mulai ikut saja menonton sinetron dan gosip. Terus saja dia menahan lapar siang dan kerinduan akan tawa spongebob. Dia tahu bahwa dia kalah. Dia juga tahu bahwa keadaan tak akan pernah berubah. Maka dia turut mengalir saja mengikuti hulu-hilir sungai adegan-adegan yang tak pernah rampung. Turut tertipu masalah-masalah remeh yang malah menambah konflik di otak. Seperti pecinta-pecinta sinetron lain yang merasa belum cukup dengan kemelut hidupnya sendiri dan sehingga menambahi dengan kemelut-kemelut lain yang pastinya mbulet khas sinetron. Masih belum cukup kesulitan hidup mereka, pasti batin mereka masih cukup luas untuk menampung dan menanggung beban kehidupan tokoh-tokoh tipuan itu. Waktu-waktu mereka pun pasti telah kelewat banyak digunakan untuk hal-hal berguna, pasti sudah sangat banyak yang digunakan untuk menyelamatkan wanita dan anak-anak dari trafficking, pasti juga sudah terlalu banyak digunakan untuk menorehkan tanda-tanda jasa sehingga telah waktunya waktu-waktu itu harus mereka gunakan untuk hal yang tidak berguna.
Selintas Lala melihat kalender. Mungkin menghitung hari ulang tahunnya yang masih dua bulan lagi. Aku tidak, aku malah menghitung bahwa hari itu adalah hari ke-tujupuluh empat setelah Lala menyerahkan matanya untuk gosip dan sinetron. Saat itu Lala telah terbiasa ikhlas nimbrung dengan ibunya terayun-ayun kerumitan yang dibuat-buat. Keduanya selalu murung-merenung menghayati cerita. Tak ada humor, tak ada tawa. Tak ada spongebob, tak ada ceria. Yang ada hanya ketegangan, emosi, amarah, dendam, kebencian, kekerasan dan gumpalan-gumpalan kotor lain yang selalu menyesaki dada. Kegeraman yang membara tak jarang terlihat pada dengusan mereka berdua. Tidak lagi karena terpaksa, kini Lala mulai menyukai semuanya. Apalagi kini sinetron dan infotainment lebih berariasi dengan karakter masing-masing. Tapi, padahal sama saja, intinya ruwet dibikin-bikin dan membongkar aib. Masa kanak-kanak Lala telah hilang dari sinar matanya. Telat makan siang tak pernah lagi jadi masalah. Perutnya tak pernah lapar di kala sinetron siang mulai disuguhkan. Hanya mata-lah yang selalu lapar akan keruwetan masalah orang dewasa. Sinetron dan infotainment yang setiap jam seperti selalu ada, bergantian, susul-menyusul-lah yang memenuhi waktu-waktu mereka berdua. Dan yang membuat bu Wati, guru TK dimana Lala sekolah, kawatir adalah PR Lala yang tak pernah dikerjakan satupun, garis paras Lala yang semakin hari semakin kaku, kukuh dan tegang. Selain itu, ternyata minat bermain Lala juga terkuras habis. Boneka dan capung tak pernah lagi tersentuh. Tak ada teman akrab yang berbagi bekal, tak ada lompat tali, dan tak ada puisi lagi yang keluar dari bibirnya. Kehidupan kanak-kanaknya telah hancur mendebu.
Tiap hari Lala diam di kelas. Meletakkan pipi di meja dan mulai mengenang adegan-adegan terdahsyat yang dia ingat. Ketika tokoh utama, seorang gadis yang cantik dan baik hati, dianiaya majikan wanitanya yang jahat, kriting dengan wajah yang tak pernah enak dipandangan mata, persis ibunya sendiri. Ketika seorang suami menampar istrinya yang baik. Ketika seorang anak laki-laki yang tampan ditinju bapak tirinya. Ketika harta warisan diperebutkan lima bersaudara yang antagonis semuanya. ketika seorang istri selingkuh dan menimbulkan prahara. Ketika seorang wanita diperebutkan dua pria dan sebaliknya. Ketika anak-anak putih abu-abu saling berebut pacar. Cinta si kaya dan si miskin yang terhalangi. Semuanya begitu sistematis terangkum dalam lembar-lembar hikayat otak Lala. Sambil berdiam diri di bangku, dikeluarkannya-lah lembar demi lembar itu. Diterawangnya jelas-jelas, seperti kacaku adalah layar TV saja. Layar kaca pribadi. Bahkan teman sebangku tak akan bisa melihat adegan-adegan yang dilihat Lala di kacaku. Semua akan terlihat begitu nyata bagi Lala, mengalir, hingga dia tertidur.
Yang seperti itu terjadi terus, semakin hari semakin mengakar parah. Hingga suatu hari, tiba-tiba Lala menghajar Dimas, salah satu teman sekelasnya yang termasuk dalam gerombolan gank berandal cilik, tanpa sebab. Bukan karena dia ditaburi pasir lagi atau dijambak rambutnya sehingga marah, ini benar-benar tanpa sebab yang bagaimanapun. Tak urung membuat ibu-ibu wali murid dan siswa-siswa lainnya mengerubungnya. Sebagian dari penonton-penonton itu adalah tetangga Lala yang juga mulai heran dengan perubahan Lala yang akhir-akhir itu tak lagi ceria, tak pernah lagi meminta buah jambu atau sekedar numpang bermain dirumah mereka. Segera setelah mengetahui konflik itu, bu Wati cepat-cepat merenggutnya dari kerumunan dan menggendongnya ke ruang guru untuk diIntrogasi.
Sesampainya di ruang guru, mula-mula bu Wati mengelus-elus rambutnya landai-landai, mencoba menenangkannya, lalu dibetulkannya tata letakku di wajah Lala dan digenggamnya kedua pundak Lala demi mendapat perhatian fokus dari Lala. “ kenapa Lala pukul Dimas??.. .. “. Diperhatikannya raut wajah Lala yang masih saja kaku tak bersalah persis batu pondasi. Kesadaran bahwa Lala telah melewati sesuatu yang salah membuat bu Wati tahu bahwa ada yang harus diperbaiki, bukan pada diri Lala, tapi pada apa yang telah mempengaruhi Lala. “ di film di TV orang baik pasti susah bu, pasti dihajar, ditinju, pokoknya disakiti terus, Lala pengen jadi orang jahat aja, dan orang jahat itu harus balas dendam bu.. . .. “. Jawabnya lugas dan logis.
02 Agustus 2009
Di rongga triplex
Teknik menulis cerpen yang diusung kali ini sudah jelas. Bahwa penulis memberikan sentuhan akhir yang cukup mengesankan dan dapat menancap kuat di hati pembaca tentang sebuah amanat yang jelas dan gamblang.
Cerpen seperti ini tidak seperti cerpen yang ber-plot normal yang dimulai dari perkenalan-konflik dan diakhiri penyelesaian, tapi malah menyajikan permasalahan baru di akhir cerita. Tapi pada kenyataanya kejutan-kejutan di akhir cerita seperti ini seringkali berhasil mengikat dan memikat hati pembaca.
Selamat berkarya.