Cerpen rakyat ini tulisan saya sendiri di masa-masa SMA. Tentu masih banyak kekurangan di sana-sini. Tapi menurut saya, dari beberapa cerpen yang telah saya tulis, cerpen rakyat "Kemuning" ini yang memiliki tema berbeda dan unik.
=============================================================================
KEMUNING
Desa Kemuning, desa damai dipinggir hutan tenang itu tiba-tiba
gempar-cemarut. Lolongan seorang wanita menuik menguasai udara.
Aktivitas pasar, sawah dan segenap dapur terhenti. ”suara siapa itu?”,,
”itu mbah nah, tetanggaku”, laki-laki sang penjawab yang ternyata
bernama Kasno itu segera menggaet sepedahnya dan mengayuh cepat-cepat,
pulang. Semua orang di pasar mengikutinya tanpa satupun tertinggal. Juga
semua orang di sawah dan di rumah-rumah. Semua memiliki satu pertanyaan
yang sama. ”apa yang bisa membuat seorang wanita tua bersedia
memberikan lolongan terkerasnya??”.
Tiba-tiba saja gubuk yang hampir ambruk itu dikrubuti orang.
Sebagai pusat kerumunan adalah seorang wanita tua yang melolong tak
terkendali. Beberapa laki-laki dan perempuan mencoba menenangkan, tapi
tak berpengaruh, nenek-nenek yang dipanggil mbah nah itu malah
kosel-kosel meronta-ronta gila. Istri kasno dan ambar, janda yang
rumahnya terhalang lima meter tanah kosong tempat di mana mbah nah
melolong ngeri, tak tahu apa sabab-musababnya. Semua orang tercenung dan
tak dapat berkomentar apapun. Angin siang yang panas berhembus
menarik-narik rambut mbah nah yang putih, ikal, kusut dan trurai,, Lama
kemudian,, lolongan itu tetaplah berwujud lolongan, tak reda. Bahkan
seperti tak akan pernah reda.
Tersebutlah Parka, Parka adalah menantu dari keponakan cicitnya
adik almarhum kakak ipar mbah nah. Mungkin hubungan persaudaraan itulah
yang membuat dia merasa berhak untuk mencoba memulai penyelidikan.
”mungkin dia kehilangan uang banyak”, katanya. Sontak saja semua mata
serentak memburunya, membuat dia gugup dan kagok. Untungnya tak lama
kemudian semua mata beralih ke Kasno ketika dia bertanya, ”kau pikir
seberapa banyak uang mbah nah sehingga dia menjadi gila karena
kehilangan uang itu, parka?”. ”bukankah kita semua tidak tahu berapa
banyak uang yang dimiliki mbah nah,,, siapa tahu mbah nah punya simpanan
uang banyak, dan sekarang hilang, mungkin yang curi orang-orang dekat
sini saja”. kembali perkataan Parka ini membuat semua mata serentak
menghujam mentalnya, membuat dia kembali gugup dan merunduk. Kasno yang
merasa tersinggung menimpali,, ” darimana dia mendapat uang sebanyak
itu, sedangkan saudaranya tak pernah memberi nasi se-pincukpun. Malah
kami yang dekat-dekat ini yang berusaha membantu”. Semua mata kembali
berpindah menyorot Kasno, mencoba memahami rasa ketersinggungannya.
Kalau saja tak banyak orang di situ, mungkin sudah hancur parka itu
dihajar kasno. Masih kecil, bodoh dan lamban sudah tajam lidahnya, minta
ditumpulkan pakai tinju rupanya. Lalu, setelah beberapa sa’at,
mata-mata itu kembali menagih parka, menanti kalimat yang mungkin akan
muncul dari mulutnya. Tapi tidak, parka tetap diam dan merunduk gugup.
Mungkin dia merasa salah, kalah, atau mungkin juga dia tak sanggup lagi
menahan siksaan mental ketika harus menghadapi pandangan dari sebegitu
banyaknya orang. Dia berhenti. Ini juga yang membuat segenap warga
menghentikan lempar-lemparan pandang yang sejak tadi serempak meraka
lakukan. Kini semua mata kembali ke satu titik. Mbah nah.,, mbah nah dan
mulutnya yang masih menembangkan lolongan paraunya.
“mungkin dia kesurupan”. Kata ambar tiba-tiba. Segenap warga yang
tadinya hening jadi nggremeng, Bicara tak jelas ke kanan-kirinya.
Menimbulkan suara yang mirip suara lebah berdengung. Lain lagi dengan
pak sapuan. Tanpa kepenuhan bicara, dengan tegas dan tlikas dia
memerintah beberapa orang untuk bergegas keluar dari kerumunan dan
secepatnya pergi kerumah wak kaji. Di Kemuning, wak kaji-lah yang
dipercaya mampu mengusir setan dan menyuruhnya pindah ke hutan. Pernah
idris, anak bungsu ambar itu ketempelan jin ketika mandi di kali.
Mungkin karena tak sengaja mematahkan ranting tempat tinggal sang jin,
membuat sang tuan rumah marah. Muka si idris itu separuh merah dan
separuh hijau lebam. Dia berteriak dan menggelinjang tak terhenti jika
didekati manusia sehingga oleh ambar disembunyikannya anaknya itu di
dalam kamar. Segera setelah tiba, wak kaji menyalaminya dengan jabatan
sekaligus ucapan. Gemeratak bunyi garam dalam genggaman tangan antara
keduanya membuat mata idris melotot seperti mata barong. Tak merenggang
eratnya genggaman wak kaji, malah ditahannya genggaman itu beberapa
menit. Dan pada akhirnya, diawali dengan perkenalan basa-basi dan
ditutup dengan sedikit ancaman tajam,, ternyata sudah cukup untuk
membuat jin itu pergi mencari rumah baru. Untuk pekerjaan semacam ini,
wak kaji tidak pernah menerima upah. Tapi, tidak setiap orang dia mau
mengobatinya. Tak pernah ada yang tahu bagaimana rumusan yang dia
gunakan untuk memilih-milih dan mempertimbangkannya.
Sementara itu, pak sapuan yang memang terbiasa jadi ketua panitia di
berbagai acara desa, kini kembali membentuk panitia kilat yang bertugas
sebagai tim penggeledah rumah mbah nah. Kasno diangkat sebagai pemimpin
tim penggeledah Karena menurut pak sapuan, dia-lah yang paling paham
tentang arsitektur artistika gubuk mbah nah. Secepatnya tim itu
bolak-balik-keluar-masuk rumah mbah nah. Segala sudut-sisi,
gelaran-lipatan dan luar-dalamnya rumah mbah nah diperiksa seteliti
mungkin, mungkin saja ada hal yang bisa ditemukan dan dijadikan
petunjuk. Ketika itu, di samping kesibukan-kesibukan itu, mbah nah masih
saja terus menyalakkan lolongan tajamnya. Melengking-lengking di langit
desa.
Wak kaji dan rombongan sampai di lokasi. Tak langsung menolong, wak
kaji yang menggenggam segenggam garam itu berhenti dan diam sejenak
mengamati situasi, saat itulah tim penggeledah keluar dan merenggut
semua tatapan mata yang memancarkan rasa harap-harap cemas. Ternyata
hasilnya NIHIL… Namun ternyata hal itu-lah yang malah membuat wak kaji
semangat melangkahkan kakinya dan mulai menembus kerumunan. Langkahnya
yang mantap tiba-tiba terhenti setelah matanya menangakap sorot mata
mbah nah. Ada yang berbeda,, ”dia tidak ketempalan jin. .. matanya
manusiawi kok, ,,”. Hening sejenak sebelum wak kaji mengulang lagi
kata-katanya, ”dia tidak kesurupan..!!”. Dan membuat semua orang tak
mampu lagi berfikir, semua hanya diam dan mubazir.
“panggillah dulu mbah marin, siapa tahu dia tahu apa permasalahan
temannya ini”. Kasno menerima bisikan ini dari istrinya. Kasno yang
merasa hanya memiliki tenaga dan sepeda onthel tua untuk bisa membantu,
berusaha memberikan dua potensi itu se-maksimal mungkin. Diraihnya si
onthel dan dikayuh cepat menyusul mabah marin.
mbah marin adalah sahabat dekat mbah nah sejak kecil. Mereka adalah
cicit- cicit dua keluarga pembabat desa itu, dua keluarga pembuka
Kemuning. Tak pernah dan tak boleh ada rahasia diantara kedua sahabat
itu. Mbah nah akan langsung tahu permasalahan yang ada setelah
dilihatnya mata sedih mbah marin, asli tanpa penjelasan yang
bagaimanapun. Sebaliknya pula jika mbah nah yang tertimpa masalah.
Rumah mbah nah tepat di ujung utara desa Kemuning, sedangkan rumah
mbah marin berada di tepian selatan desa. Ada yang percaya bahwa mereka
berdua adalah lambang penjagaan desa dari segala macam balak dan bahaya.
Kini keduanya diperkirakan berumur sembilan puluh-an. Masing-masing tak
mampu lagi saling berkunjung untuk bercengkrama. Tapi, konon mereka
berdua dapat saling berkomunikasi batin. Kasno dan istrinya sangat tahu
tentang hal ini. Jadi, walaupun telat, mereka pikir, pasti mbah marin
tahu dan paham apa yang sebetulnya terjadi, bagaimana akarnya hingga
membuahkan lolongan yang sampai saat itu belum juga berhenti,, lolongan
yang terus mengiris hati setiap orang,, lolongan yang terus menyengat
telinga semua pendengar,,
,, lolongan yang terasa memiliki sisi simetris antara mistis dan spiritual yang agung ,,
Setibanya kasno dan mbah marin, keadaan tetap tak berubah.
Memancarkan lelah dan putus asa dari semua pihak. Mbah marin menembus
kerumunan dengan papahan kasno. Nenek renta itu malah tersenyum setelah
melihat keadaan mbah nah yang semakin mengenaskan, membuat semua orang
tambah bingung. ”kasno, dan apalagi kamu ambar. Tentu kalian tahu kayu
sebesar lengan yang tingginya kira-kira satu depa dan tadinya tertancap
di tempat temanku si nah itu, ya , , tepat di situ. Tahu tho?”,
kata-kata mbah marin terhenti sebentar oleh sedikit batuk bau tanah khas
orang tua. Membuat suasana kembali hening menunggu… ”kayu itulah yang
hilang, bukan sekedar uang atau giwang. Kayu itu bahkan lebih dia jaga
daripada anaknya yang mati tak terurus itu. Keyakinannya, entah karena
apa, dia letakkan di kayu itu. Dan sekarang kayu itu hilang. Dia tak
akan pernah bisa terima”.
Sepi, semua melongo. Yang paham memaklumi walau tetap tidak bisa
setuju. ”keyakinan kok ditaruh di kayu, tak boleh seperti itu, syirik
namanya, menyekutukan Tuhan. Haram, Neraka”. Yang tak paham, tanpa pikir
panjang, mulai mengeluarkan celotehan, memamerkan keahliannya mengolah
lidah,, , ”orang kehilangan kayu saja kok edan, di rumahku banyak kayu
bakar, mau yang segede apa juga ada. Tiwas rebut-ribut gini, bikin capek
orang saja, masak orang sekampung gini ngumpul Cuma disuruh bahas kayu
ilang , mungkin Cuma gara-gara kudisnya kumat jadi kayak gitu, mungkin
kudis itu kudis parah yang gatalnya minta ampun”. Membuat
dengungan-dengungan kembali keluar dari mulut-mulut.
Wak kaji yang mulai memahami dan menyadari titik inti ini mulai
berbicara lagi, ”jadi mbah nah kita ini kehilangan keyakinan,
saudara-saudara sekalian. Saya-pun akan gila jika Tuhan yang saya yakini
dengan teguh tiba-tiba lenyap atau musnah. Syukurnya ALLAH tak kan
pernah hilang atau musnah…. (jeda sejenak) …Dia tidak kerasukan mahluk
halus, melainkan kerasukan keyakinan yang dia buat dan dipercayainya
sendiri. Tidak ada gangguan dari luar. Maslah ini murni berasal dari
dalam diri sendiri”.
Tapi ternyata ada yang tidak terima. Pak sapuan menyela,, ”saya
kira ada juga apa yang disebutkan sebagai gangguan dari luar itu.
Bagaimana tragedi kayu itu bisa hilang adalah karena dicuri, entah oleh
manusia atau rayap, yang penting itulah kesalahan dari luar. Saya kira,
sebaiknya kayu keyakinan itu harus diketemukan agar supaya keadaan
daripada mbah nah cepat semakin membaik pula. Dia hanya akan tenang jika
dan hanya jika kayunya ia pegang kembali, jika dan hanya jika
keyakinannya ia peluk kembali”,, Pak sapuan ini adalah orang yang
dipandang penting dan intlek di desa Kemuning itu. Maka, setiap
berbicara, selalu akan ditumpahkannya seluruh perbendaharaan kata-kata
yang terlihat baku, mantap dan berwibawa walau hasilnya akan menjadi
kalimat yang akan dihina guru bahasa Indonesia dan tidak dipahami
khalayak penduduk.
Setelah kalimat pak sapuan terlontar, mulut-mulut kembali tak tahan
untuk mengumbar clometan masing-masing...”mungkin ambar atau istrinya
kasno yang ambil untuk kayu bakar”,, ”agh!... Cuma kayu ilang, sampe
gila, kasihan daganganku tak tinggal”,, ”ayo!!... langsung aja dicari
kayunya, kasihan mbah nah udah lemes gitu”,, ”kayu kok diyakini ini
gimana tho??”,, ”mbah nah pasti sudah gila sebelum kayu itu hilang”,,
”jadinya mbah nah ini kehilangan kayu bakar apa kehilangan apa tho??”
,,.. dan sebagainya…. Semua punya opini, tapi diungkapkan kekanan-kiri
dengan tidak jelas, menciptakan suara dengungan-dengungan aneh di udara.
Sedangkan mbah nah masih saja melolong, walau telah lumat-lemas badan,
mata dan mulutnya, meski telah hancur suaranya, ia tetap konsisten pada
lolongannya, pada teguh keyakinannya. Udara sore itu dipenuhi dengungan
dan lolongan… .. langit senja dengan lengang berbunyi yang aneh.. . .…
Kasno yang tak sabar dengan keadaan yang tak pasti itu angkat
Tanya. “jadi kayunya dicari apa tidak??, saya manut saja”.. Seketika
itu, sebelum seorangpun berfikir untuk menjawab, wak kaji dengan segera
melompatkan sergahannya ,, “jangan!!!..., keyakinan itu hanya untuk
ALLAH, bukan untuk kayu. Jangan Bantu mbah nah pergi ke neraka bersama
kayunya,, Bagi yang tega ikut-ikutan mencari, berarti dia tega kalau tak
kan pernah aku mau mengobati anaknya kalau sewaktu-waktu kesurupan.
Percayalah, Ini kerja SETAN!!! Kalian dengar….. SETAN!!!....”. Kemudian
wak kaji meninggalkan kerumunan itu. Sebagian yang sudah capek dan
kesal, terutama beberapa orang yang dari pasar, turut pergi tanpa suara.
Terhuyung-huyung mereka kembali ke tempat masing-masing dengan hati tak
menentu, mungkin karena mereka belum tahu penyelesaian cerita aneh mbah
nah ini. Tapi tak ada manfa’atnya juga kalaupun tetap di situ, pikir
mereka.
“sekarang gimana pak?”. Kasno yang sudah gatal kesabarannya
bertanya lagi. “Genahnya kita harus gimana??, saya pusing dari tadi
bingung-bingungan terus”. Arah pandangan maupun arah pertanyaan kasno
kali ini tepat memburu pak sapuan yang menurutnya paling mampu mengatur
dan berbicara. Dia dan yang lain pantasnya menjadi pihak yang menerima
perintah-perintah itu. Jadi jelas siapa yang harus memerintah dan siapa
yang harus trima untuk diperintah.
Pak sapuan, semua mata memandang dirinya. Membuat dia merasa
tertimbun tanggungan penyelesaian masalah. Dia terpaku, kenapa dia yang
tiba-tiba terkena tanggung jawab??,, kasno tak punya otak, kasno seperti
mewakili warga melongsorkan tanggung jawab ini padanya. Lalu bagaimana
pula penyelesaian yang harus dia ambil untuk masalah konyol seperti ini.
Benar-benar bukan permasalahan yang seharusnya dia pikirkan.
Dan, yang akhirnya keluar dari mulut pak sapuan adalah, “ ah… kita
kan sudah tahu mbah nah begini karena kehilangan barang. Ya… sudah, kita
cari saja barang itu. Semua berpencar dan cari kayu itu!!...”. Seketika
buyarlah semua orang, ada yang bertekat ikut mencari kayu keramat itu,
ada yang tidak ikut karena takut ancaman wak kaji, ada pula yang lebih
memilih pulang dan makan.
Sedangkan keadaan mbah nah, tetap dengan tingkah yang sama. Mbah nah masih saja melolong, sendirian… .
Walau bernada lebih rendah dan sangat serak, lolongan teruslah berupa lolongan.
“ mana kayuku… .. . ?? mana keyakinanku.. .. .”,,
- Hingga sore menjelang malam.
`Kamis, 23 juni 2009
Di Rongga triplex
=============================================================================
Demikian cerpen rakyat berjudul "Kemuning". Silahkan tinggalkan komentar, kritik dan saran di kolom komentar di bawah ini.