RSS

Cerpen sekolah, tidak harus di lingkungan sekolah


Cerpen sekolah tentu saja bukan hanya cerpen yang bersetting di ruangan kelas atau lingkungan sekolah saja, tetapi juga bisa dari tempat-tempat lain. Asalkan cerita tetap nyambung dan tidak timpang. Seperti juga film, film tentag anak sekolah juga bisa terjadi di jalan atau bahkan pasar. Jika penulis telah mampu membaurkannya, tentu cerpen ini akan tetap nyambung dengan nilai plus pada segi kreativitas.

Selamat menikmati,



KEMALAMAN

Kulambaikan tangan. Bus itu menyalakan lampu kirinya yang berwarna merah, dan berhenti di depanku. Sedangkan suara iqomah dari mushalla yang telat masih mempercantik udara yang kian kelam menghitam. Jingga mega sore kian lenyap dari atap Bumi. Hari mulai malam dan aku naik tangga bus satu-persatu.
Sepi, sepi sekali. Hanya ada suara angin yang terbelah, mesin bus, kaca jendela yang kocak dan rengekan anak kecil yang tak lagi betah duduk di pangkuan ibunya dalam bus pengap ini.
Bus itu berhenti di terminal selanjutnya dan menaikkan seorang penumpang wanita yang memilih duduk di sampingku. Lalu senyap kembali. Kernet yang tadinya berkoar-koar mencari penumpang-pun diam terduduk lesu. Ini malam dan malam adalah capek. Suasana seperti ini memberi hanya tiga kegiatan yang bisa kita pilih, tidur, menggerutu dan mengenang. Dan aku terpancing pada kail yang terakhir.
Tadi beberapa kawan MTS berkumpul di rumah Nisa. Dan karena begitu indah, aku lupa waktu dan kemalaman. Yang termasuk point terpenting tadi sore adalah, bahwa rumah nisa dekat dengan rumah yang dulu kami sekeluarga pernah ngontrak disitu. Ketika keluargaku utuh dan bersemayam dengan damai dirumah itu. Yang harus kupikirkan saat itu hanyalah belajar dan belajar, bukan uang bulanan yang hampir habis pada tanggal dua puluh atau hutang pada teman yang belum lunas walau sudah dicicil selama tiga bulan.
 Ku pandangi bekas rumah kami itu sepuas hatiku merasa. Rumah itu adalah salah satu fase pertumbuhanku. Berbeda memang dulu dan kini. Segalanya telah mengalami pergantian waktu.
Perbedaan atau pergantian waktu ternyata tidak hanya berdampak pada kata telah, belum, sekarang, sesudah itu, dua hari yang lalu atau keterangan waktu yang lain, tetapi juga berdampak pada kata-kata sifat yang lain yang bukan keterangan waktu, seperti sedih, bahagia, gila, sehat. Untuk skala lebih luas lagi, ternyata kata waktu masih sangat mempengaruhi semua kata, baik kata benda, maupun kata kerja. Misalnya saja sebuah benda yang dikatakan sebagai “Almari”, setelah mengalami pergantian waktu sekian tahun akan berubah, orang akan mengatakannya sebagai “Kayu bakar”. Atau yang lebih instant saja, sebuah benda akan disebut “Bangkai” setelah tiga detik sebelumnya orang mengatakan “Ayam keracunan”. Lebih jauh, ternyata ini tidak hanya mengenai nama-nama dan kata-kata, ternyata pergantian waktu juga berdampak pada seluruh benda dalam Alam Raya ini, apapun. Juga benda-benda yang tak bernama, tak dikata. Jadi, pantaslah kiranya ALLAH, dalam Kitab sucinya, berjanji atas nama Waktu.
Pergantian waktu-lah yang berhasil mengubah marahnya Ayah dan omelan Ibu yang dulu terasa panas di telinga menjadi tatah yang kini mengukir senyumku. Kepahitan-kepahitan yang sekarang-pun akan menjadi kenangan indah besok-besok. Itulah, kenapa, kesedihan apapun yang terjadi kini, tak kan mampu membuatku putus asa. Dan untuk kesabaran itu, sekarang aku mengenang.
Di pemberhentian selanjutnya kawan dudukku mulai angkat bicara.
-          “ di kota sekolah?? ”, ucapnya sambil menolehku. Hancur deh acara kenang-mengenangku. Kujawab saja, tak terbayangkan jika aku tetap bergeming dan tak menggubrisnya.
-          “ iya “ sambil kukeluarkan senyum tipis. Senyum tipis, kayak apa??...
-          “ sekolah dimana ”. dewasa sekali kelihatannya.
-          “ SMK Negeri, kamu?? ”. Maksudku “kamu masih sekolah apa sudah kerja?”. Tapi jawabannya langsung,
-          “ MAN “.
-          “ O..ooo.. “.
-          “ kamu namanya siapa?? “ tanyanya lagi.
-          “ udi “.
-          “ kamu kelas berapa? “.
-          “ dua “.
-          “ jurusan?? “.
-          “ TI-TKJ “.
-          “ seragam identitas sekolah kamu apa?”.
-          “ beda jurusan beda warna “.
-          “ jurusanmu?? “. Eh, anak ini, kalau tanya kok bisa tanpa rem begitu?. – kurasa memang aku yang belum siap dan belum terbiasa dengan keadaan seperti ini, menghadapi perempuan yang tadinya terlihat anggun dan jual mahal yang tiba-tiba akrab dan berubah jadi anak kecil yang rame. Memang aku yang tak begitu paham tentang bagaimana seorang wanita menjaga kesan pertama. Memang aku yang kuper ini yang tidak ahli dalam komunikasi sosial dalam suasana yang demikian. Memang aku yang salah-.
-          “  seragam jurusanku warna atasannya kuning, bawahannya hijau. Kamu kelas berapa?? ”. Inilah pertanyaan pertama dari program balas dendamku.
-          “ satu “, hoo  Ooo… ternyata masih kelas satu.
-          “ nge-kos? “.
-          “ di rumah kakak “.
-          “ rumahmu di mana?? “.
-          “ Gambiran “.
-          “ kok nggak ngambil man yang di Genteng aja, kan lebih deket??”.
-          “ yang di Banyuwangi kan malahan di sampingnya rumah mbak-ku “.
-          “ danemnya brapa? “.
-          “ dua tiga-tiga mapel “.
-          “ lulusan mana? “.
-          “ MTs Cluring, udah ah, kamu nanya banyak amat… .  “. Eh nggak ngerasa dia kalau aku ini balas dendam.
-          “ kok nggak nanya namaku ??”. HAH!!!.. ..  oko..  oke.. aku Tanyain deh….
-          “ emang nama kamu siapa? “.
-          “ intan, nih buktinya, ini identitasku “, sambil dipamerkannya sebuah gelang bertuliskan namanya. “Intan”. Emang siapa peduli dia bohong atau tidak. Kalaupun nama aslinya “ MURSID “ aku tak akan menuntutnya. Anak aneh.
Sebenarnya kali ini aku lagi-lah yang keliru. Aku masih terkungkung dalam alamku sendiri, belajar dan belajar. Tak tahu bahwa seharusnya aku mulai lebih melebarkan jendela mataku untuk melihat Dunia, bahwa aku harus segera berlatih untuk berinteraksi, bukan hanya dengan keluarga dan saudara, tetapi juga pada kawan dan lawan di manapun aku berada. Begitulah, aku samasekali tak peduli akan kawan dudukku dan tak berharap untuk tahu dan menghafal namanya, karena aku merasa kami tak akan bertemu lagi, tak harus berbasa-basi sebagai wujud interaksi sosial lagi, singkatnya aku tak akan berurusan dengannya lagi setelah kami turun dari Bus itu, ciri khas otak yang berpandangan pendek. Kenapa aku begitu, adalah karena keluargaku telah memberikan semua kebutuhan jasmani dan ruhaniku, membuatku merasa tidak butuh pada yang lain.
Sampai bus itu mulai meninggalkan Srono, dia berkata lagi, “ nanti kalau hampir sampai di Saweri Gading dekat patung kuda, tolong kasih tahu aku ya.., aku dijemput mbakku di situ. Aku nggak pernah naik bus sendiri seperti ini, jadi nggak tahu”. Oh!, jadi gitu, aku iyakan saja. Yang aku bingungkan adalah sikap pertama dia duduk di sini tadi lho… . , seperti orang yang sudah bekerja, dewasa dan tenang sekali. Ternyata masih kelas satu, ternyata masih pemula dasar naik bus sendiri. Ah!, wanita, jika seorang wanita terus saja dimata-matai, kadang dia akan terlihat kuat dan tak butuh siapapun, terkadang mewek memanja, kadang rela menyerahkan apa saja, kadang begitu tenang dan kadang begitu bernafsu. Ketidak tegasan seperti inilah yang membuatku –yang kadang sebagai ketua kelas- selalu bingung berinteraksi dengan mereka, bingung menghadapi mahluk terindah.
- “ eh, daerah Kabat itu mana yah?“. Dia Tanya.
- “ Kabat itu sesudah Rogojampi“.
- “ ini sudah Rogojampi??“.
- “ belum, sebentar lagi”.
- “ soalnya, katanya, kami mau kemah di daerah Kabat itu”.
- “ O..oo…. “.
Kemah, teringat waktu masih MTs dulu, kami kemah di air terjun Lider. Dari perkemahan yang berada di kawasan kampung menuju air terjun yang dimaksud adalah kawasan kebun kopi yang sangat luas, dan kami harus melintasinya dengan berjalan kaki. Membuat kaki kami serasa memar dipukuli godam. Panas matahari menjilati kepala membuat kami terlihat lusuh dan kacau. Sudah begitu, kakak-kakak Pembina masih juga tega menyuruh kami mencari semut laki-laki, tes morse dan baris-berbaris. Lebih-lebih ketika sampai di pos terakhir, kami langsung disuguhi hutan di bawah sana. Tidak hanya curam, tapi juga licin. Jurang asli, dan kami harus turun masuk hutan itu. Jalan terjal khas jurang, berbatu, basah, tak tentu alurnya, tak tentu bentuknya. Tak ayal siswi-siswi menangis karena sukarnya. Mereka terpeleset-peleset mengikuti alur, tersaruk-saruk takut ketinggalan. Belum lagi teriakan beberapa anak laki-laki barisan depan yang sok berani langsung menceburkan kaki ke air, karena beberapa lintah langsung memeluk kaki-kaki itu erat-erat. Semua anak serasa tak mampu menanggungkan beban seberat ini. Di mana-mana terdengar rintihan, keluh-kesah, tangisan, gerutu, umpatan, teriakan dan do’a. Lebih parah lagi, ada Pembina yang, dalam keadaan seperti itu, segenting itu, sehancur itu, pacaran. Entahlah, saat itu suasana sungguh kacau. Sebagai kami tak akan bisa pulang ke rumah lagi.
Sampai di Sawerigading, gadis teman dudukku turun. Aku turun di terminal Karang Ente, Naik Lin nomor 8, Turun di kawasan Cungking dan siap mengikuti rutinitas seorang pelajar untuk esok harinya. Selamat tinggal kenangan, aku harus mengejar masa depan yang beberapa tahun lagi akan menjadi kenangan juga seperti kamu. Sampai jumpa, selalu ada-lah untukku dan selalu hadir-lah jika kupanggil. Ku buka pintu rumah Kos-ku.



                                                                                       21 September 2007
                                                                                           Di Cungking


0 Responses to "Cerpen sekolah, tidak harus di lingkungan sekolah"

Posting Komentar

ARTIKEL MENARIK LAINNYA

 

Follower

Anda Pengunjung ke

Return to top of page Copyright © 2010 | Flash News Converted into Blogger Template by HackTutors