RSS

Cerpen sekolah, tidak harus di lingkungan sekolah

0 komentar

Cerpen sekolah tentu saja bukan hanya cerpen yang bersetting di ruangan kelas atau lingkungan sekolah saja, tetapi juga bisa dari tempat-tempat lain. Asalkan cerita tetap nyambung dan tidak timpang. Seperti juga film, film tentag anak sekolah juga bisa terjadi di jalan atau bahkan pasar. Jika penulis telah mampu membaurkannya, tentu cerpen ini akan tetap nyambung dengan nilai plus pada segi kreativitas.

Selamat menikmati,



KEMALAMAN

Kulambaikan tangan. Bus itu menyalakan lampu kirinya yang berwarna merah, dan berhenti di depanku. Sedangkan suara iqomah dari mushalla yang telat masih mempercantik udara yang kian kelam menghitam. Jingga mega sore kian lenyap dari atap Bumi. Hari mulai malam dan aku naik tangga bus satu-persatu.
Sepi, sepi sekali. Hanya ada suara angin yang terbelah, mesin bus, kaca jendela yang kocak dan rengekan anak kecil yang tak lagi betah duduk di pangkuan ibunya dalam bus pengap ini.
Bus itu berhenti di terminal selanjutnya dan menaikkan seorang penumpang wanita yang memilih duduk di sampingku. Lalu senyap kembali. Kernet yang tadinya berkoar-koar mencari penumpang-pun diam terduduk lesu. Ini malam dan malam adalah capek. Suasana seperti ini memberi hanya tiga kegiatan yang bisa kita pilih, tidur, menggerutu dan mengenang. Dan aku terpancing pada kail yang terakhir.
Tadi beberapa kawan MTS berkumpul di rumah Nisa. Dan karena begitu indah, aku lupa waktu dan kemalaman. Yang termasuk point terpenting tadi sore adalah, bahwa rumah nisa dekat dengan rumah yang dulu kami sekeluarga pernah ngontrak disitu. Ketika keluargaku utuh dan bersemayam dengan damai dirumah itu. Yang harus kupikirkan saat itu hanyalah belajar dan belajar, bukan uang bulanan yang hampir habis pada tanggal dua puluh atau hutang pada teman yang belum lunas walau sudah dicicil selama tiga bulan.
 Ku pandangi bekas rumah kami itu sepuas hatiku merasa. Rumah itu adalah salah satu fase pertumbuhanku. Berbeda memang dulu dan kini. Segalanya telah mengalami pergantian waktu.
Perbedaan atau pergantian waktu ternyata tidak hanya berdampak pada kata telah, belum, sekarang, sesudah itu, dua hari yang lalu atau keterangan waktu yang lain, tetapi juga berdampak pada kata-kata sifat yang lain yang bukan keterangan waktu, seperti sedih, bahagia, gila, sehat. Untuk skala lebih luas lagi, ternyata kata waktu masih sangat mempengaruhi semua kata, baik kata benda, maupun kata kerja. Misalnya saja sebuah benda yang dikatakan sebagai “Almari”, setelah mengalami pergantian waktu sekian tahun akan berubah, orang akan mengatakannya sebagai “Kayu bakar”. Atau yang lebih instant saja, sebuah benda akan disebut “Bangkai” setelah tiga detik sebelumnya orang mengatakan “Ayam keracunan”. Lebih jauh, ternyata ini tidak hanya mengenai nama-nama dan kata-kata, ternyata pergantian waktu juga berdampak pada seluruh benda dalam Alam Raya ini, apapun. Juga benda-benda yang tak bernama, tak dikata. Jadi, pantaslah kiranya ALLAH, dalam Kitab sucinya, berjanji atas nama Waktu.
Pergantian waktu-lah yang berhasil mengubah marahnya Ayah dan omelan Ibu yang dulu terasa panas di telinga menjadi tatah yang kini mengukir senyumku. Kepahitan-kepahitan yang sekarang-pun akan menjadi kenangan indah besok-besok. Itulah, kenapa, kesedihan apapun yang terjadi kini, tak kan mampu membuatku putus asa. Dan untuk kesabaran itu, sekarang aku mengenang.
Di pemberhentian selanjutnya kawan dudukku mulai angkat bicara.
-          “ di kota sekolah?? ”, ucapnya sambil menolehku. Hancur deh acara kenang-mengenangku. Kujawab saja, tak terbayangkan jika aku tetap bergeming dan tak menggubrisnya.
-          “ iya “ sambil kukeluarkan senyum tipis. Senyum tipis, kayak apa??...
-          “ sekolah dimana ”. dewasa sekali kelihatannya.
-          “ SMK Negeri, kamu?? ”. Maksudku “kamu masih sekolah apa sudah kerja?”. Tapi jawabannya langsung,
-          “ MAN “.
-          “ O..ooo.. “.
-          “ kamu namanya siapa?? “ tanyanya lagi.
-          “ udi “.
-          “ kamu kelas berapa? “.
-          “ dua “.
-          “ jurusan?? “.
-          “ TI-TKJ “.
-          “ seragam identitas sekolah kamu apa?”.
-          “ beda jurusan beda warna “.
-          “ jurusanmu?? “. Eh, anak ini, kalau tanya kok bisa tanpa rem begitu?. – kurasa memang aku yang belum siap dan belum terbiasa dengan keadaan seperti ini, menghadapi perempuan yang tadinya terlihat anggun dan jual mahal yang tiba-tiba akrab dan berubah jadi anak kecil yang rame. Memang aku yang tak begitu paham tentang bagaimana seorang wanita menjaga kesan pertama. Memang aku yang kuper ini yang tidak ahli dalam komunikasi sosial dalam suasana yang demikian. Memang aku yang salah-.
-          “  seragam jurusanku warna atasannya kuning, bawahannya hijau. Kamu kelas berapa?? ”. Inilah pertanyaan pertama dari program balas dendamku.
-          “ satu “, hoo  Ooo… ternyata masih kelas satu.
-          “ nge-kos? “.
-          “ di rumah kakak “.
-          “ rumahmu di mana?? “.
-          “ Gambiran “.
-          “ kok nggak ngambil man yang di Genteng aja, kan lebih deket??”.
-          “ yang di Banyuwangi kan malahan di sampingnya rumah mbak-ku “.
-          “ danemnya brapa? “.
-          “ dua tiga-tiga mapel “.
-          “ lulusan mana? “.
-          “ MTs Cluring, udah ah, kamu nanya banyak amat… .  “. Eh nggak ngerasa dia kalau aku ini balas dendam.
-          “ kok nggak nanya namaku ??”. HAH!!!.. ..  oko..  oke.. aku Tanyain deh….
-          “ emang nama kamu siapa? “.
-          “ intan, nih buktinya, ini identitasku “, sambil dipamerkannya sebuah gelang bertuliskan namanya. “Intan”. Emang siapa peduli dia bohong atau tidak. Kalaupun nama aslinya “ MURSID “ aku tak akan menuntutnya. Anak aneh.
Sebenarnya kali ini aku lagi-lah yang keliru. Aku masih terkungkung dalam alamku sendiri, belajar dan belajar. Tak tahu bahwa seharusnya aku mulai lebih melebarkan jendela mataku untuk melihat Dunia, bahwa aku harus segera berlatih untuk berinteraksi, bukan hanya dengan keluarga dan saudara, tetapi juga pada kawan dan lawan di manapun aku berada. Begitulah, aku samasekali tak peduli akan kawan dudukku dan tak berharap untuk tahu dan menghafal namanya, karena aku merasa kami tak akan bertemu lagi, tak harus berbasa-basi sebagai wujud interaksi sosial lagi, singkatnya aku tak akan berurusan dengannya lagi setelah kami turun dari Bus itu, ciri khas otak yang berpandangan pendek. Kenapa aku begitu, adalah karena keluargaku telah memberikan semua kebutuhan jasmani dan ruhaniku, membuatku merasa tidak butuh pada yang lain.
Sampai bus itu mulai meninggalkan Srono, dia berkata lagi, “ nanti kalau hampir sampai di Saweri Gading dekat patung kuda, tolong kasih tahu aku ya.., aku dijemput mbakku di situ. Aku nggak pernah naik bus sendiri seperti ini, jadi nggak tahu”. Oh!, jadi gitu, aku iyakan saja. Yang aku bingungkan adalah sikap pertama dia duduk di sini tadi lho… . , seperti orang yang sudah bekerja, dewasa dan tenang sekali. Ternyata masih kelas satu, ternyata masih pemula dasar naik bus sendiri. Ah!, wanita, jika seorang wanita terus saja dimata-matai, kadang dia akan terlihat kuat dan tak butuh siapapun, terkadang mewek memanja, kadang rela menyerahkan apa saja, kadang begitu tenang dan kadang begitu bernafsu. Ketidak tegasan seperti inilah yang membuatku –yang kadang sebagai ketua kelas- selalu bingung berinteraksi dengan mereka, bingung menghadapi mahluk terindah.
- “ eh, daerah Kabat itu mana yah?“. Dia Tanya.
- “ Kabat itu sesudah Rogojampi“.
- “ ini sudah Rogojampi??“.
- “ belum, sebentar lagi”.
- “ soalnya, katanya, kami mau kemah di daerah Kabat itu”.
- “ O..oo…. “.
Kemah, teringat waktu masih MTs dulu, kami kemah di air terjun Lider. Dari perkemahan yang berada di kawasan kampung menuju air terjun yang dimaksud adalah kawasan kebun kopi yang sangat luas, dan kami harus melintasinya dengan berjalan kaki. Membuat kaki kami serasa memar dipukuli godam. Panas matahari menjilati kepala membuat kami terlihat lusuh dan kacau. Sudah begitu, kakak-kakak Pembina masih juga tega menyuruh kami mencari semut laki-laki, tes morse dan baris-berbaris. Lebih-lebih ketika sampai di pos terakhir, kami langsung disuguhi hutan di bawah sana. Tidak hanya curam, tapi juga licin. Jurang asli, dan kami harus turun masuk hutan itu. Jalan terjal khas jurang, berbatu, basah, tak tentu alurnya, tak tentu bentuknya. Tak ayal siswi-siswi menangis karena sukarnya. Mereka terpeleset-peleset mengikuti alur, tersaruk-saruk takut ketinggalan. Belum lagi teriakan beberapa anak laki-laki barisan depan yang sok berani langsung menceburkan kaki ke air, karena beberapa lintah langsung memeluk kaki-kaki itu erat-erat. Semua anak serasa tak mampu menanggungkan beban seberat ini. Di mana-mana terdengar rintihan, keluh-kesah, tangisan, gerutu, umpatan, teriakan dan do’a. Lebih parah lagi, ada Pembina yang, dalam keadaan seperti itu, segenting itu, sehancur itu, pacaran. Entahlah, saat itu suasana sungguh kacau. Sebagai kami tak akan bisa pulang ke rumah lagi.
Sampai di Sawerigading, gadis teman dudukku turun. Aku turun di terminal Karang Ente, Naik Lin nomor 8, Turun di kawasan Cungking dan siap mengikuti rutinitas seorang pelajar untuk esok harinya. Selamat tinggal kenangan, aku harus mengejar masa depan yang beberapa tahun lagi akan menjadi kenangan juga seperti kamu. Sampai jumpa, selalu ada-lah untukku dan selalu hadir-lah jika kupanggil. Ku buka pintu rumah Kos-ku.



                                                                                       21 September 2007
                                                                                           Di Cungking
Continue Reading... Label: , ,


Cerpen kehidupan, yang mampu menyadarkan.

0 komentar

Cerpen kehidupan memiliki daya tarik tersendiri, cerpen macam ini seringkali memiliki tema unik yang mampu menohok pembaca akan sebuah kesadaran baru tentang suatu hal. Kesadaran, merupakan hal utama yang di tujukan oleh penulis.

Tema yang menonjol tersebut tentu saja mampu menarik perhatian pembaca. Artinya di sini, pembaca berhasil mendapatkankeindahan sastra dari rasa pada tema yang diajukan oleh penulis.

Selamat menikmati,




KEMUNING

            Desa Kemuning, desa damai dipinggir hutan tenang itu tiba-tiba gempar-cemarut. Lolongan seorang wanita menuik menguasai udara. Aktivitas pasar, sawah dan segenap dapur terhenti. ”suara siapa itu?”,, ”itu mbah nah, tetanggaku”, laki-laki sang penjawab yang ternyata bernama Kasno itu segera menggaet sepedahnya dan mengayuh cepat-cepat, pulang. Semua orang di pasar mengikutinya tanpa satupun tertinggal. Juga semua orang di sawah dan di rumah-rumah. Semua memiliki satu pertanyaan yang sama. ”apa yang bisa membuat seorang wanita tua  bersedia memberikan lolongan terkerasnya??”.
            Tiba-tiba saja gubuk yang hampir ambruk itu dikrubuti orang. Sebagai pusat kerumunan adalah seorang wanita tua yang melolong tak terkendali. Beberapa laki-laki dan perempuan mencoba menenangkan, tapi tak berpengaruh, nenek-nenek yang dipanggil mbah nah itu malah kosel-kosel meronta-ronta gila. Istri kasno dan ambar, janda yang rumahnya terhalang lima meter tanah kosong tempat di mana mbah nah melolong ngeri, tak tahu apa sabab-musababnya. Semua orang tercenung dan tak dapat berkomentar apapun. Angin siang yang panas berhembus menarik-narik rambut mbah nah yang putih, ikal, kusut dan trurai,, Lama kemudian,, lolongan itu tetaplah berwujud lolongan, tak reda. Bahkan seperti tak akan pernah reda.
            Tersebutlah Parka, Parka adalah menantu dari keponakan cicitnya adik almarhum kakak ipar mbah nah. Mungkin hubungan persaudaraan itulah yang membuat dia merasa berhak untuk mencoba memulai penyelidikan. ”mungkin dia kehilangan uang banyak”, katanya. Sontak saja semua mata serentak memburunya, membuat dia gugup dan kagok. Untungnya tak lama kemudian semua mata beralih ke Kasno ketika dia bertanya, ”kau pikir seberapa banyak uang mbah nah sehingga dia menjadi gila karena kehilangan uang itu, parka?”. ”bukankah kita semua tidak tahu berapa banyak uang yang dimiliki mbah nah,,, siapa tahu mbah nah punya simpanan uang banyak, dan sekarang hilang, mungkin yang curi orang-orang dekat sini saja”. kembali perkataan Parka ini membuat semua mata serentak menghujam mentalnya, membuat dia kembali gugup dan merunduk. Kasno yang merasa tersinggung menimpali,, ” darimana dia mendapat uang sebanyak itu, sedangkan saudaranya tak pernah memberi nasi se-pincukpun. Malah kami yang dekat-dekat ini yang berusaha membantu”. Semua mata kembali berpindah menyorot Kasno, mencoba memahami rasa ketersinggungannya. Kalau saja tak banyak orang di situ, mungkin sudah hancur parka itu dihajar kasno. Masih kecil, bodoh dan lamban sudah tajam lidahnya, minta ditumpulkan pakai tinju rupanya. Lalu, setelah beberapa sa’at, mata-mata itu kembali menagih parka, menanti kalimat yang mungkin akan muncul dari mulutnya. Tapi tidak, parka tetap diam dan merunduk gugup. Mungkin dia merasa salah, kalah, atau mungkin juga dia tak sanggup lagi menahan siksaan mental ketika harus menghadapi pandangan dari sebegitu banyaknya orang. Dia berhenti. Ini juga yang membuat segenap warga menghentikan lempar-lemparan pandang yang sejak tadi serempak meraka lakukan. Kini semua mata kembali ke satu titik. Mbah nah.,, mbah nah dan mulutnya yang masih menembangkan lolongan paraunya.
            “mungkin dia kesurupan”. Kata ambar tiba-tiba. Segenap warga yang tadinya hening jadi nggremeng, Bicara tak jelas ke kanan-kirinya. Menimbulkan suara yang mirip suara lebah berdengung. Lain lagi dengan pak sapuan. Tanpa kepenuhan bicara, dengan tegas dan tlikas dia memerintah beberapa orang untuk bergegas keluar dari kerumunan dan secepatnya pergi kerumah wak kaji. Di Kemuning, wak kaji-lah yang dipercaya mampu mengusir setan dan menyuruhnya pindah ke hutan. Pernah idris, anak bungsu ambar itu ketempelan jin ketika mandi di kali. Mungkin karena tak sengaja mematahkan ranting tempat tinggal sang jin, membuat sang tuan rumah marah. Muka si idris itu separuh merah dan separuh hijau lebam. Dia berteriak dan menggelinjang tak terhenti jika didekati manusia sehingga oleh ambar disembunyikannya anaknya itu di dalam kamar. Segera setelah tiba, wak kaji menyalaminya dengan jabatan sekaligus ucapan. Gemeratak bunyi garam dalam genggaman tangan antara keduanya membuat mata idris melotot seperti mata barong. Tak merenggang eratnya genggaman wak kaji, malah ditahannya genggaman itu beberapa menit. Dan pada akhirnya, diawali dengan perkenalan basa-basi dan ditutup dengan sedikit ancaman tajam,, ternyata sudah cukup untuk membuat jin itu pergi mencari rumah baru. Untuk pekerjaan semacam ini, wak kaji tidak pernah menerima upah. Tapi, tidak setiap orang dia mau mengobatinya. Tak pernah ada yang tahu bagaimana rumusan yang dia gunakan untuk memilih-milih dan mempertimbangkannya.
Sementara itu, pak sapuan yang memang terbiasa jadi ketua panitia di berbagai acara desa, kini kembali membentuk panitia kilat yang bertugas sebagai tim penggeledah rumah mbah nah. Kasno diangkat sebagai pemimpin tim penggeledah Karena menurut pak sapuan, dia-lah yang paling paham tentang arsitektur artistika gubuk mbah nah. Secepatnya tim itu bolak-balik-keluar-masuk rumah mbah nah. Segala sudut-sisi, gelaran-lipatan dan luar-dalamnya rumah mbah nah diperiksa seteliti mungkin, mungkin saja ada hal yang bisa ditemukan dan dijadikan petunjuk. Ketika itu, di samping kesibukan-kesibukan itu, mbah nah masih saja terus menyalakkan lolongan tajamnya. Melengking-lengking di langit desa.
            Wak kaji dan rombongan sampai di lokasi. Tak langsung menolong, wak kaji yang menggenggam segenggam garam itu berhenti dan diam sejenak mengamati situasi, saat itulah tim penggeledah keluar dan merenggut semua tatapan mata yang memancarkan rasa harap-harap cemas. Ternyata hasilnya NIHIL… Namun ternyata hal itu-lah yang malah membuat wak kaji semangat melangkahkan kakinya dan mulai menembus kerumunan. Langkahnya yang mantap tiba-tiba terhenti setelah matanya menangakap sorot mata mbah nah. Ada yang berbeda,, ”dia tidak ketempalan jin. ..  matanya manusiawi kok, ,,”.  Hening sejenak sebelum wak kaji mengulang lagi kata-katanya, ”dia tidak kesurupan..!!”. Dan membuat semua orang tak mampu lagi berfikir, semua hanya diam dan mubazir.
            “panggillah dulu mbah marin, siapa tahu dia tahu apa permasalahan temannya ini”. Kasno menerima bisikan ini dari istrinya. Kasno yang merasa hanya memiliki tenaga dan sepeda onthel tua untuk bisa membantu, berusaha memberikan dua potensi itu se-maksimal mungkin. Diraihnya si onthel dan dikayuh cepat menyusul mabah marin.

mbah marin adalah sahabat dekat mbah nah sejak kecil. Mereka adalah cicit-       cicit dua keluarga pembabat desa itu, dua keluarga pembuka Kemuning. Tak pernah dan tak boleh ada rahasia diantara kedua sahabat itu. Mbah nah akan langsung tahu permasalahan yang ada setelah dilihatnya mata sedih mbah marin, asli tanpa penjelasan yang bagaimanapun. Sebaliknya pula jika mbah nah yang tertimpa masalah.
Rumah mbah nah tepat di ujung utara desa Kemuning, sedangkan rumah mbah marin berada di tepian selatan desa. Ada yang percaya bahwa mereka berdua adalah lambang penjagaan desa dari segala macam balak dan bahaya. Kini keduanya diperkirakan berumur sembilan puluh-an. Masing-masing tak mampu lagi saling berkunjung untuk bercengkrama. Tapi, konon mereka berdua dapat saling berkomunikasi batin. Kasno dan istrinya sangat tahu tentang hal ini. Jadi, walaupun telat, mereka pikir, pasti mbah marin tahu dan paham apa yang sebetulnya terjadi, bagaimana akarnya hingga membuahkan lolongan yang sampai saat itu belum juga berhenti,, lolongan yang terus mengiris hati setiap orang,, lolongan yang terus menyengat telinga semua pendengar,,

,, lolongan yang terasa memiliki sisi simetris antara mistis dan spiritual yang agung ,,

            Setibanya kasno dan mbah marin, keadaan tetap tak berubah. Memancarkan lelah dan putus asa dari semua pihak. Mbah marin menembus kerumunan dengan papahan kasno. Nenek renta itu malah tersenyum setelah melihat keadaan mbah nah yang semakin mengenaskan, membuat semua orang tambah bingung. ”kasno, dan apalagi kamu ambar. Tentu kalian tahu kayu sebesar lengan yang tingginya kira-kira satu depa dan tadinya tertancap di tempat temanku si nah itu,    ya , , tepat di situ. Tahu tho?”, kata-kata mbah marin terhenti sebentar oleh sedikit batuk bau tanah khas orang tua. Membuat suasana kembali hening menunggu… ”kayu itulah yang hilang, bukan sekedar uang atau giwang. Kayu itu bahkan lebih dia jaga daripada anaknya yang mati tak terurus itu. Keyakinannya, entah karena apa, dia letakkan di kayu itu. Dan sekarang kayu itu hilang. Dia tak akan pernah bisa terima”.
            Sepi, semua melongo. Yang paham memaklumi walau tetap tidak bisa setuju. ”keyakinan kok ditaruh di kayu, tak boleh seperti itu, syirik namanya, menyekutukan Tuhan. Haram, Neraka”. Yang tak paham, tanpa pikir panjang, mulai mengeluarkan celotehan, memamerkan keahliannya mengolah lidah,, , ”orang kehilangan kayu saja kok edan, di rumahku banyak kayu bakar, mau yang segede apa juga ada. Tiwas rebut-ribut gini, bikin capek orang saja, masak orang sekampung gini ngumpul Cuma disuruh bahas kayu ilang , mungkin Cuma gara-gara kudisnya kumat jadi kayak gitu, mungkin kudis itu kudis parah yang gatalnya minta ampun”. Membuat dengungan-dengungan kembali keluar dari mulut-mulut.
            Wak kaji yang mulai memahami dan menyadari titik inti ini mulai berbicara lagi, ”jadi mbah nah kita ini kehilangan keyakinan, saudara-saudara sekalian. Saya-pun akan gila jika Tuhan yang saya yakini dengan teguh tiba-tiba lenyap atau musnah. Syukurnya ALLAH tak kan pernah hilang atau musnah…. (jeda sejenak) …Dia tidak kerasukan mahluk halus, melainkan kerasukan keyakinan yang dia buat dan dipercayainya sendiri. Tidak ada gangguan dari luar. Maslah ini murni berasal dari dalam diri sendiri”.
            Tapi ternyata ada yang tidak terima. Pak sapuan menyela,, ”saya kira ada juga apa yang disebutkan sebagai gangguan dari luar itu. Bagaimana tragedi kayu itu bisa hilang adalah karena dicuri, entah oleh manusia atau rayap, yang penting itulah kesalahan dari luar. Saya kira, sebaiknya kayu keyakinan itu harus diketemukan agar supaya keadaan daripada mbah nah cepat semakin membaik pula. Dia hanya akan tenang jika dan hanya jika kayunya ia pegang kembali, jika dan hanya jika keyakinannya ia peluk kembali”,,  Pak sapuan ini adalah orang yang dipandang penting dan intlek di desa Kemuning itu. Maka, setiap berbicara, selalu akan ditumpahkannya seluruh perbendaharaan kata-kata yang terlihat baku, mantap dan berwibawa walau hasilnya akan menjadi kalimat yang akan dihina guru bahasa Indonesia dan tidak dipahami khalayak penduduk.
Setelah kalimat pak sapuan terlontar, mulut-mulut kembali tak tahan untuk mengumbar clometan masing-masing...”mungkin ambar atau istrinya kasno yang ambil untuk kayu bakar”,, ”agh!... Cuma kayu ilang, sampe gila, kasihan daganganku tak tinggal”,, ”ayo!!... langsung aja dicari kayunya, kasihan mbah nah udah lemes gitu”,, ”kayu kok diyakini ini gimana tho??”,, ”mbah nah pasti sudah gila sebelum kayu itu hilang”,, ”jadinya mbah nah ini kehilangan kayu bakar apa kehilangan apa tho??” ,,.. dan sebagainya….  Semua punya opini, tapi diungkapkan kekanan-kiri dengan tidak jelas, menciptakan suara dengungan-dengungan aneh di udara. Sedangkan mbah nah masih saja melolong, walau telah lumat-lemas badan, mata dan mulutnya, meski telah hancur suaranya, ia tetap konsisten pada lolongannya, pada teguh keyakinannya. Udara sore itu dipenuhi dengungan dan lolongan… .. langit senja dengan lengang berbunyi yang aneh.. . .…
            Kasno yang tak sabar dengan keadaan yang tak pasti itu angkat Tanya. “jadi kayunya dicari apa tidak??, saya manut saja”.. Seketika itu, sebelum seorangpun berfikir untuk menjawab, wak kaji dengan segera melompatkan sergahannya ,, “jangan!!!..., keyakinan itu hanya untuk ALLAH, bukan untuk kayu. Jangan Bantu mbah nah pergi ke neraka bersama kayunya,, Bagi yang tega ikut-ikutan mencari, berarti dia tega kalau tak kan pernah aku mau mengobati anaknya kalau sewaktu-waktu kesurupan. Percayalah, Ini kerja SETAN!!! Kalian dengar…..  SETAN!!!....”. Kemudian wak kaji meninggalkan kerumunan itu. Sebagian yang sudah capek dan kesal, terutama beberapa orang yang dari pasar, turut pergi tanpa suara. Terhuyung-huyung mereka kembali ke tempat masing-masing dengan hati tak menentu, mungkin karena mereka belum tahu penyelesaian cerita aneh mbah nah ini. Tapi tak ada manfa’atnya juga kalaupun tetap di situ, pikir mereka.
            “sekarang gimana pak?”. Kasno yang sudah gatal kesabarannya bertanya lagi. “Genahnya kita harus gimana??, saya pusing dari tadi bingung-bingungan terus”. Arah pandangan maupun arah pertanyaan kasno kali ini tepat memburu pak sapuan yang menurutnya paling mampu mengatur dan berbicara. Dia dan yang lain pantasnya menjadi pihak yang menerima perintah-perintah itu. Jadi jelas siapa yang harus memerintah dan siapa yang harus trima untuk diperintah.
            Pak sapuan, semua mata memandang dirinya. Membuat dia merasa tertimbun tanggungan penyelesaian masalah. Dia terpaku, kenapa dia yang tiba-tiba terkena tanggung jawab??,, kasno tak punya otak, kasno seperti mewakili warga melongsorkan tanggung jawab ini padanya. Lalu bagaimana pula penyelesaian yang harus dia ambil untuk masalah konyol seperti ini. Benar-benar bukan permasalahan yang seharusnya dia pikirkan.
            Dan, yang akhirnya keluar dari mulut pak sapuan adalah, “ ah… kita kan sudah tahu mbah nah begini karena kehilangan barang. Ya… sudah, kita cari saja barang itu. Semua berpencar dan cari kayu itu!!...”. Seketika buyarlah semua orang, ada yang bertekat ikut mencari kayu keramat itu, ada yang tidak ikut karena takut ancaman wak kaji, ada pula yang lebih memilih pulang dan makan.
            Sedangkan keadaan mbah nah, tetap dengan tingkah yang sama. Mbah nah masih saja melolong,      sendirian…  .
Walau bernada lebih rendah dan sangat serak, lolongan teruslah berupa lolongan.

mana kayuku… .. . ??  mana keyakinanku.. ..  .”,,

-          Hingga sore menjelang malam.



`Kamis, 23 juni 2009
Di Rongga triplex
Continue Reading... Label: , , , ,


ARTIKEL MENARIK LAINNYA

 

Follower

Anda Pengunjung ke

Return to top of page Copyright © 2010 | Flash News Converted into Blogger Template by HackTutors